Minggu, 07 Juli 2013

BUDAYA ORGANISASI

BUDAYA ORGANISASI

1.      Pengertian dan Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2003) pengertian budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi. Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan mempersepsikan karakteristik dari suatu budaya organisasi, bukan dengan apakah para karyawan menyukai budaya atau tidak.
Budaya merupakan konsep penting untuk memahami masyarakat dan kelompok manusia dalam jangka  waktu yang panjang, tak terkecuali di dalam sebua organisasi. Mengidentifikasi dan memahami budaya organisasi mempengaruhi keberhasilan dalam hal intelektual dan financial dalam perusahaan. Menurut Mowat (2002) budaya organisasi adalah “the personality of the organization: the shared beliefs, values and behaviours of the group. It is symbolic, holistic, and unifying, stable, and difficult to change.”
Menurut pandangan Davis (1984):“Pengertian budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasionalyang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasional sehingga polatersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar berperilaku dalam organisasional”. Budaya organisasi merujuk kepada suatu sistem pengertian bersama yang  dipegang oleh anggota­anggota suatu organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya.
Budaya organisasi adalah apa yang dipersepsikan karyawan dan cara persepsi itu menciptakan suatu pola keyakinan, nilai, dan ekspektasi. Schein (1981) dalam Ivancevich et.al., (2005) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat belajar menghadapi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, dan oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan berperasaan sehubungan dengan masalah yang dihadapinya.
Definisi Schein menunjukkan bahwa budaya melibatkan asumsi, adaptasi, persepsi dan pembelajaran.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa budaya organisasi memiliki tiga lapisan:
  1. Lapisan pertama mencakup artifak dan ciptaan yang tampak nyata tetapi seringkali tidak dapat diinterpretasikan. 
  2. Lapisan kedua terdapat nilai atau berbagai hal yang penting bagi orang. Nilai merupakan kesadaran, hasrat afektif, atau keinginan. 
  3. Lapisan ketiga merupakan asumsi dasar yang diciptakan orang untuk memandu perilaku mereka. Termasuk dalam lapisan ini adalah asumsi yang mengatakan kepada individu bagaimana berpersepsi, berpikir, dan berperasaan mengenai pekerjaan, tujuan kinerja, hubungan manusia, dan kinerja rekan kerja.
Terdapat tujuh karakter utama yang menjadi hakikat dari budaya organisasi: 
  1. Inovasi dan pengambilan resiko: sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko. 
  2. Perhatian terhadap detail: sejauh mana karyawan diharapkan mampu memperlihatkan ketepatan, analisis, dan perhatian terhadap detail. 
  3. Orientasi terhadap hasil: sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil, dibandingkan pada teknik dan proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. 
  4. Orientasi terhadap individu: sejauhmana manajemen  dalam mempertimbangkan efek­efek keberhasilan individu­individu didalam organisasi 
  5. Orientasi terhadap tim: sejauh mana aktivitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan. 
  6. Agresivitas: sejauh mana orang­orang agar berlaku agresif (kreatif) dan (kompetitif), dan tidak bersikap santai. 
  7. Stabilitas: sejauh mana aktivitas organisasi dalam  mempertahankan status quo (Robbins, 2002) 
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah sebuah sistem bersama yang meliputi keyakinan, nilai­nilai dan perilaku kelompok yang membedakannya dengan organisasi lain. Terdapat tujuh karakter utama yang menjadi hakikat dari budaya organisasi seperti inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detail, orientasi terhadap hasil, orientasi terhadap  individu, orientasi terhadap tim serta agresivitas dan stabilitas.

Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Robbins (2003) menyatakan bahwa budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, yaitu:
  1. Budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, yang artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. 
  2. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. 
  3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang. 
  4. Budaya memantapkan sistem sosial, yang artinya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan suatu organisasi dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. 
  5. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Secara alami budaya sukar dipahami, tidak berwujud, implisit dan dianggap biasa saja. Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti pengandaian, pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-hari dalam tempat kerja. Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku karyawan semakin penting bagi organisasi. 
Dengan dilebarkannya rentang kendali, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim, dikuranginya formalisasi, dan diberdayakannya karyawan oleh organisasi, makna bersama yang diberikan oleh suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua karyawan diarahkan kearah yang sama. Pada akhirnya budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi.


2.      Tipologi Budaya Organisasi

Ada beberapa tipologi budaya organisasi. Kotter dan Heskett (1998) mengkategorisasi jenis budaya organisasi menjadi tiga yaitu budaya kuat dan budaya lemah; budaya yang memiliki kecocokan strategik; dan budaya adaptif. Organisasi yang berbudaya kuat biasanya dapat dilihat oleh orang luar sebagai memilih suatu gaya tertentu. Dalam budaya organisasi yang kuat ini nilai-nilai yang dianut bersama itu dikonstruksi ke dalam semacam pernyataan misi dan secara serius mendorong para manajer untuk mengikutinya. Karena akar-akarnya sudah mendalam, gaya dan nilai budaya yang kuat cenderung tidak banyak berubah walaupun ada pergantian pimpinan.
Sejalan dengan itu, Robbins (1990) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan budaya yang kuat adalah budaya di mana nilai-nilai inti dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat pula budaya tersebut. Sebaliknya organisasi yang berbudaya lemah, nilai-nilai yang dianut tidak begitu kuat sehingga jatidiri organisasi tidak begitu menonjol dan kemungkinan besar nilai-nilai yang dianut pun berubah setiap pergantian pimpinan atau sesuai dengan kebijakan pimpinan yang baru.
Jenis budaya yang cocok secara strategik memiliki perspektif yang menegaskan tidak ada resep umum untuk menyatakan seperti apa hakikat budaya yang baik itu, hanya apabila “cocok” dengan konteksnya. Konteks itu dapat berupa kondisi objektif dari organisasinya, segmen usahanya yang dispesifikasi oleh strategi organisasi atau strategi bisnisnya sendiri. Konsep kecocokan sangat bermanfaat khususnya dalam menjelaskan perbedaanperbedaan kinerja jangka pendek dan menengah. Esensi konsepnya mengatakan bahwa suatu budaya yang seragam tidak akan berfungsi. Oleh karena itu, beberapa variasi dibutuhkan untuk mencocokan tuntutan-tuntutan spesifik dari bisnis-bisnis yang berbeda itu.
Budaya adaptif didasari pemikiran bahwa organisasi merupakan sistem terbuka dan dinamis yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk dapat meraih sukses dalam lingkungan yang senantiasa berubah, organisasi harus tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat membaca kecenderungan-kecenderungan penting dan melakukan penyesuaian secara cepat. Budaya organisasi adaptif memungkinkan organisasi mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi tanpa harus berbenturan dengan perubahan itu sendiri.
Selanjutnya, Luthans (1992) memaparkan karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
  1. Peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi 
  2. Norma-norma 
  3. Nilai-nilai yang dominan 
  4. Filosofi 
  5. Aturan-aturan 
  6. Iklim organisasi.
Semua karakteristik budaya organisasi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, dalam arti bahwa unsur-unsur tersebut mencerminkan budaya yang berlaku dalam suatu jenis organisasi, baik yang berorientasi pada pelayanan jasa maupun organisasi yang menghasilkan produk barang.
Robbins (1990) mengemukakan 10 karakteristik budaya organisasi, yaitu:
  1. Inisiatif individu 
  2. Toleransi terhadap risiko 
  3. Pengarahan 
  4. Integrasi 
  5. Dukungan manajemen 
  6. Pengawasan 
  7. Identitas 
  8. Sistem penghargaan 
  9. Toleransi terhadap konflik 
  10. Pola komunikasi.
Inisiatif individual adalah seberapa jauh inisiatif seseorang dikehendaki dalam perusahaan. Hal ini meliputi tanggung jawab, kebebasan dan independensi dari masing-masing anggota organisasi, dalam artian seberapa besar seseorang diberi wewenang dalam melaksanakan tugasnya, seberapa berat tanggung jawab yang harus dipikul sesuai dengan kewenangannya dan seberapa luas kebebasan mengambil keputusan.
Toleransi terhadap risiko, menggambarkan seberapa jauh sumber daya manusia didorong untuk lebih agresif, inovatif dan mau menghadapi risiko dalam pekerjaannya. Pengarahan, hal ini berkenaan dengan kejelasan sebuah organisasi dalam menentukan objek dan harapan terhadap sumber daya manusia terhadap hasil kerjanya. Harapan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk kuantitas, kualitas dan waktu.
Integrasi adalah seberapa jauh keterkaitan dan kerja sama yang ditekankan dalam melaksanakan tugas dari masing-masing unit di dalam suatu organisasi dengan koordinasi yang baik. Dukungan manajemen, dalam hal ini seberapa jauh para manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan terhadap bawahannya dalam melaksanakan tugasnya.
Pengawasan, meliputi peraturan-peraturan dan supervisi langsung yang digunakan untuk melihat secara keseluruhan dari perilaku karyawan. Identitas, menggambarkan pemahaman anggota organisasi yang loyal kepada organisasi secara penuh dan seberapa jauh loyalitas karyawan tersebut terhadap organisasi.
Sistem penghargaan pun akan dilihat dalam budaya organisasi, dalam arti pengalokasian “reward” (kenaikan gaji, promosi) berdasarkan kriteria hasil kerja karyawan yang telah ditentukan. Toleransi terhadap konflik, menggambarkan sejauhmana usaha untuk mendorong karyawan agar bersikap kritis terhadap konflik yang terjadi. Karakteristik yang terakhir adalah pola komunikasi, yang terbatas pada hierarki formal dari setiap perusahaan.


DAFTAR PUSTAKA 
http://www.psychologymania.com/2012/10/pengertian-budaya-organisasi.html
http://www.psychologymania.com/2012/10/fungsi-budaya-organisasi.html
http://www.psychologymania.com/2013/01/tipologi-budaya-organisasi.html